Di tengah jalannya kirab, lebih dari 500 warga masyarakat berpartisipasi menjadi peserta kirab, dua truk terbuka membawa tumpukan hasil panen warga: jagung, wortel, terong, hingga nanas yang ditata berbentuk gunungan raksasa. Barisan warga mengenakan pakaian adat Jawa, diiringi gamelan dan musik tradisional, menyusuri jalanan perkampungan dengan tertib. Aroma gotong royong dan rasa syukur begitu terasa, sedekah bumi bukan sekadar tradisi, tapi pernyataan utuh atas kedekatan warga dengan alam dan sejarah mereka.
Namun puncak perhatian warga tertuju pada pertunjukan drama kolosal bertema kerajaan. Di depan Masjid Darussalam’ RW 03, sebuah panggung sederhana disulap menjadi medan kisah. Anak-anak muda Rejosari memainkan cerita tentang pertarungan antara seorang raja adil dengan pemberontak pengkhianat yang berambisi merebut tahta. Alur dramatik diperkaya dengan kostum prajurit, dayang-dayang, dan tabuhan kendang yang menggema, menghidupkan kembali suasana abad lampau.
Pertunjukan tersebut bukan hanya hiburan. Ia menjadi alat edukasi budaya, memperkenalkan kembali nilai-nilai kepemimpinan, keberanian, dan pengorbanan dari sejarah Jawa kepada generasi muda. Cerita disampaikan dalam bahasa yang lugas, namun tetap sarat makna filosofis.
Spanduk besar di barisan depan kirab bertuliskan, “Srawung Budaya, Tuwuh Rasa - Bersilaturahmi lewat budaya, tumbuh rasa kebersamaan,” menjadi semangat bersama dari seluruh rangkaian kegiatan. Di tengah modernisasi kota, warga Rejosari tak melupakan akarnya. Mereka membangun peradaban dengan tetap berpijak pada warisan leluhur.
Sedekah Bumi Rejosari bukan sekadar upacara tahunan. Ia adalah ruang kolektif di mana hasil bumi, seni, sejarah, dan religi serta solidaritas berpadu. Sebuah perayaan utuh yang menegaskan bahwa budaya bukan milik masa lalu, tetapi energi hidup yang menyatukan hari ini dan masa depan. (KarsuDhewo)